Langsung ke konten utama

On My Wedding Day. (judul film doang kok)

Semester 4 ini, kita ditugaskan untuk membuat film masing-masing dengan waktu persiapan satu minggu. Karena sistemnya random atau saling nunjuk menunjuk, rasanya nggak tenang kalo nggak dipersiapin dari awal. Gue punya waktu 1-2 minggu untuk mempersiapkan cerita yang akan dibuat sebelum nunjuk menunjuk dimulai. Karena keterbatasan waktu pre produksi, gue berencana menulis cerita yang memang berpatokan ke sumber daya produksi-nya.

Perlu waktu untuk gue berfikir, sampai akhirnya gue mengungsi ke suatu cafe untuk mencari inspirasi. Lalu gue mendengar lagu Spiegel Um Spiegel, lagu instrumental 10 menit yang sangat gue suka. Tanpa ada suara, hanya lantunan alat musik, yang ngga pernah bikin gue ngerasa kalo itu berdurasi selama 10 menit. Lagu yang gue tau dari film favorit gue sepanjang masa: About Time.

Dengan mendengar lagu itu... Gue langsung tahu, kalau film yang akan gue buat akan tentang: Ibu. Dan itu akan menjadi film sedih.

Poin utamanya sudah ketemu, tapi gue masih nggak tau akan dikemas seperti apa cerita tentang Ibu itu.

Lalu berlanjut kepada suatu pagi di kampus, ketika gue sengaja dateng pagi banget dari kosan biar bisa numpang wifi. Gue berfikir lagi, brainstorming sendiri. Dan... entah darimana, satu poin lagi muncul, yaitu: Pernikahan.

Entah gimana gue tiba-tiba jadi kepikiran lagu Slipping Through My Fingers - ABBA, gue inget ketika di adaptasi di film Mamma Mia, gue dan nyokap nangis kejer waktu scene itu. Scene ketika sang Ibu harus melepas anak perempuan satu-satunya untuk menikah.

Dan akhirnya setelah satu dan lain hal, pada saat itu juga tertulislah sepenggal sinopsis On My Wedding Day, yaitu:

Cerita tentang seorang anak perempuan yang harus kehilangan Ibunya di hari pernikahannya. 

Cerita yang lahir berdasarkan 2 hal yang sangat dekat dengan gue: Ibu dan Pernikahan.

Gue adalah that one kid who has their mom as their best friend. My mom is everything for me, I would wake up everyday and one thing I did is to check if she's still alive. Losing her would forever be my biggest fear.

Dan kenapa pernikahan padahal gue sendiri aja belum nikah? Ya justru karena gue belum nikah jadi mikirinnya pernikahan terus, kalo udah nikah yang dipikirin nanti masak apa buat suami (situ istri apa koki?)

Iya gue selalu mikirin tentang pernikahan, gue nggak merasa itu hal yang aneh, karena gue PEREMPUAN yang pada akhirnya misi kita adalah untuk menjadi istri dan ibu. Entah kalo lo memang berencana jadi wanita karir atau apa, terserah, tapi bagi gue dan keyakinan gue, kodrat wanita adalah untuk menikah.

Di film ini, gue mengangkat kebahagiaan dan kesedihan terbesar gue jadi satu. Menikah dan kehilangan Ibu. Bahagia untuk melanjutkan masa depan. Sedih untuk harus melepaskan sosok teristimewa di hidup kita. 

Ironis memang, tapi memang begitu kenyataannya.

Naskah yang gue tulis memiliki dialog-dialog yang murni berdasarkan hati nurani gue, berdasarkan apa yang gue mau dengar sendiri. Makanya mungkin akan terdengar cheesy, tapi gue merasa ketika gue di posisi itu, kalimat-kalimat itu lah yang paling akan langsung menusuk gue.

Bahkan ketika gue menulis, gue menangis sendiri.

Abis itu gue langsung ceritain ke sahabat gue sinopsisnya, dan suprisingly first impressionnya cukup bagus. Gue jadi lebih pede.

Waktu akhirnya gue pulang ke rumah pas weekend, gue menceritakan cerita ini ke nyokap gue, waktu itu kita di perjalanan, lagi nganter gue untuk meeting Swipe. Gue memanfaatkan perjalanan itu untuk nyeritain ceirtanya. And you know what? She cried her eyes out right there on the spot. Pada saat itu lah gue tau kalo cerita ini akan menjadi cerita yang kuat. Karena seorang Ibu aja bisa langsung tersentuh. (Tapi gue juga tau kalau nyokap gue salah satu orang ter "cengeng" yang pernah gue kenal.)

Selanjutnya gue langsung cari pemeran film ini, gue emang sempet nyeletuk di grup swipe cewek-cewek mengenai open casting, ada beberapa yang tetarik memang, tapi entah mereka serius apa nggak. Dan pada suatu hari gue lagi sama Hena, dan dia bilang dia mau-mau aja coba acting, gue bilang ke dia "Lo bisa nggak acting sedih?" Dan dia malah jawab: "Gue dibilang temen-temen gue mukanya sedih terus sih..." :')

Sebenernya si Hena ini nggak pernah acting sebelumnya. Jadi gue cukup kaget dia mau acting perdana, sebelum kita eksekusi, gue udah suka sama semangat dia.

Selanjutnya, siapa yang jadi Ibu? Awalnya gue becanda ngajak nyokap gue. Tapi ternyata pada akhirnya pilihannya memang jatuh kepadanya. Sebenarnya ada beberapa alasan, pertama: gue memang ingin pemeran Ibu adalah Ibu asli. Gue takut kalo karakter Ibu ini diperankan oleh aktor yang hanya ber-akting. Gue takuuut banget kalo esensi si karakter Ibu jadi hilang. Walaupun mungkin acting aktor beneran bakal lebih bagus. Tapi nggak deh, ini adalah idealisme gue sendiri. Walaupun gue harus tetap berada di antara telling her what to do dan berusaha untuk tidak menjadi anak durhaka.

Production

Karena ini film yang menurut gue sangat perempuan banget. (Cerita tentang perempuan, semua karakternya perempuan) gue merasa kalo film ini akan sangat cocok bila diproduksi dengan kekuatan perempuan. Girl power. Dan akhirnya gue mengajak teman-teman perempuan gue di kelas untuk menjadi chief atau kepala departemen. Seperti Jane jadi Director of Photography, Amiera jadi Art Director, Aqsha jadi Gaffer dan Amy jadi Astrada.

Mungkin karena juga pada saat itu gue abis nonton Mulan, gue jadi agak feminis.

(Produsernya Anjas karena memang untuk tempat produser itu pilihan dari produser sebelumnya)

Alhamdulillah pada tanggal 5 Mei 2018, film ini berhasil diproduksi. Cukup banyak kendala di awal, tapi tentunya dengan bantuan-Nya semuanya berhasil terlaksana. Sebenernya banyak banget salahnya, harus gue akui, ini pertama kalinya gue ngedirect film di kampus, yang memang benar-benar sesuai prosedur. Masih ada kebiasaan-kebiasaan gue waktu ngedirect yang sangat unproffesional dulu kebawa di produksi ini. Seperti salahsatunya kebiasaan lama gue dulu yang selalu jadi one man crew. Setidaknya dengan begini, gue jadi lebih banyak belajar.

Dan ternyata waktu gue direct di tempat, gue tetep nangis ketika nyokap gue ternyata bisa acting sangat baik memotretkan karakter yang memang sudah ada di kepala gue selama ini. Nyokap gampang nangis, sehingga scene bisa menjadi sangat emosional. Untuk Hena, gue juga sangat salut, walaupun ini perdana dia acting dan setelah gue liat hasil akhirnya, dia bisa meraih apa yang gue mau. Dan satu lagi, Dilla. Karakter pendukung tapi punya peran yang sangat krusial berhasil di raih dengan ekspresi wajahnya.

Bagi gue sendiri setelah melihat semuanya terjait rapih, gue merasa cukup puas. Memang ada yang bisa lebih baik, pasti di setiap film ada yang seperti itu. Tapi entahlah, aku mau menerima itu semua, karena film terbaikmu selalu film berikutmu bukan?

Untuk kalian yang akan nonton nanti, mungkin ada dari kalian yang akan bertanya-tanya, nggak apa-apa. Tapi untuk kalian yang langsung mengerti dalam sekali nonton, pasti kita satu frekuensi.

Makasih udah baca,

Minal aidin wal fa idzin,
Mohon maaf lahir dan batin!

ARSP
13/6/18
06.50 WIB
Hari ke-2 terakhir puasa.


Komentar