Langsung ke konten utama

"Jadi, what's next?"

Jadi gue baru aja selesai kuliah D3, mengambil jurusan impian gue, jurusan perfilman.
Pada tanggal 13 Oktober kemaren gue baru aja wisuda.
Rasanya gimana? Seneng, khususnya karena gue emang menunggu untuk datangnya hari ini. Tapi bukan berarti gue nggak hargai prosesnya. Gue bersyukur banget dengan apa yang terjadi semasa kuliah gue. Banyak pengalaman yang membuat mental gue makin kuat karena diasah abis-abisan. Kalo gue nggak kuliah disini, gue nggak akan bisa mengenal dunia baru yang sangat unik ini. Gue bersyukur, sangat bersyukur.

Oke, ketika datangnya hari wisuda, berarti juga sudah akan tiba waktunya untuk pertanyaan: "Jadi, what's next?"

Gue sendiri udah mulai ambil kuliah ekstensi ke S1. Tapi itu tidak sepenuhnya gue jadikan sebagai "kegiatan" gue. Karena pada kuliah kali ini, gue bukan kelas reguler, yang sepenuhnya waktu gue digunakan untuk kuliah. Tapi, kelas pararel. Atau kata lainnya, kelas karyawan. Gue hanya berkuliah di hari Sabtu, selama 2 tahun ke depan. Dan kemudian, akan datang lagi pertanyaan: "Terus senin-jumat nya ngapain?"

Emang ye, pertanyaan ga abis-abis.

Kalo ditanya ngapain. Jawaban gue tidak akan bisa selalu memuaskan si penanya. Dengan kedoktrinan masyarakat yang sudah sangat tertanam ini, pasti jawaban yang diharapkan adalah: "Kerja."

Eits, tapi bukan itu doang.

Formula dasar untuk jawaban yang bisa memuaskan orang adalah: "Kerja + di sebuah kantor/perusahaan yang familiar di telinga mereka." akan dapat nilai plus kalau ditambah kata "Negara".

Sekarang ayo balik ke gue. Gue pun juga tidak sepenuhnya tahu tentang apa yang gue lakukan ini. Gue emang cuma di rumah aja, tapi ada aja kesibukannya. Apa bisa gue anggap sebagai sebuah kerjaan? Ya tentunya menurut mereka, kalau tidak mendapat slip gaji, tidak bisa dibilang kerjaan.

Gue sebagaimana manusia normal, sedikit jenuh. Apalagi ketika melihat teman-teman yang lain. Kayaknya gue harus "Seperti kayak mereka."

Ditambah, bokap gue, being the usual dad, ingin gue bisa kerja sama orang, baru bisa diitung sebagai anak yang berprestasi dan membanggakan. Gue selalu mendapat tuntutan dari beliau.

Namun... tidak sama dengan nyokap gue.

Setiap kali gue mau melamar kerja di sebuah kantor. Nyokap selalu tolak kalau jauh dari rumah. Kalopun deket dari rumah, nyokap masih kekeuh gue nggak usah kerja sama orang. Karena bagi nyokap gue, bukan uang yang ia inginkan, tapi kehadiran gue, anaknya, untuk bisa dekat dengannya selalu.

Beda 180 derajat sama bokap.

Stress nggak sih lo, dibolak balik kayak kerang terombang-ambing di laut????

Mana mereka selalu ngomong kalo gue lagi sendiri. Bokap selalu ngomong ke gue kalo nyokap nggak ada, dan nyokap juga kalo ngomong nggak mau sampe bokap gue denger.

Sampe gue ada di titik dimana gue udah mau meledak. Stress nggak karuan. Gue harus apa biar bisa sama-sama nyenengin dua orang ini?

Pada saat itu, gue sibuk dengerin mereka. Sampe gue lupa dengerin gue sendiri. Yang paling penting, yang seharusnya didenger, yang seharusnya paling bisa gue percaya. Gue kesampingkan.

Gue lupa, kalau gue masih punya cita-cita. Cita-cita yang sering gue taro dipojokan otak gue. "Nanti ya, belum waktunya."

Tapi... Mau sampai kapan?

Lalu gue coba liat keadaan gue. Gue sekarang 21 tahun, masih punya kewajiban jadi mahasiswa sampe 2 tahun ke depan. Itu dulu yang harus dipikirin.

Terus, inshaa Allah gue akan lulus di umur 23 tahun. Nah abis itu apa? Yak, jangan lupa, kita masih punya satu misi lagi di dunia ini, yaitu: menikah.

Dan ketika menikah, kita bukan cuma mikirin diri sendiri lagi.

Lalu, gue akan makin menumpuk cita-cita gue di bawah pelbagai macam kewajiban lainnya. Sehingga kemudian, akan binasa selamanya.

Ketakutan sebesar gue.

Di saat itu lah, gue mulai beraksi. Membela keinginan gue. Dan menjadi egois.

Gue ngumpulin kedua orang tua gue. Biar jelas. Gue udah capek main kucing-kucingan gini.

Dengan sangat berani dan sedikit takut, gue mulai bicara:

"Aku udah nentuin rencana. Aku mau manfaatin 2 tahun ini sebaik mungkin. 2 tahun sampe aku lulus sarjana, 2 tahun sampe aku membuka diri untuk menikah. Aku minta waktunya untuk wujudin cita-cita aku. Emang nggak bisa menghasilkan uang pada saat ini juga. Tapi pasti, nanti, ini akan menjadi besar. Aku yakin, aku percaya. This is my true calling. Aku bisa wujudin cita-cita ini dari rumah, jadi masih bisa nemenin mama. Dan aku juga nggak buang-buang waktuku di rumah. Aku tetap produktif seperti yang papa mau."

Bokap gue masih mengharapkan gue bisa independen menghasilkan uang sendiri, tapi ia berusaha mengerti dan percaya. Walaupun belum sepenuhnya.

Nyokap alhamdulillah, sangat mendukung 100%. Dia pun sempat berargumen kepada papa: "Ntar keasikan kerja, cari duit, malah lupa nikah."

Sisanya... adalah tugas gue. Gue harus bener-bener persistent dan membuktikan ke mereka. Kalo ini adalah jalan yang terbaik.

Dan gue juga nggak boleh lagi, nengok kanan kiri. Pengen ngikut kayak temen. Kayak orang nggak punya prinsip. Karena kita punya jalannya masing-masing. Bila udah yakin sama jalan lo, pertahankan itu. No matter what people say. As long as you believe in yourself, and you really make it true.

Memang bahaya di umur 20-an ini. Sangat mudah membanding-bandingkan hidup yang satu dengan yang lain. Padahal, masing-masing hidup sendiri-sendiri, dan akan mati sendiri-sendiri juga.

Untuk kamu yang masih bingung. Berdoalah. Minta petunjuk.
Untuk kamu yang masih merasa tidak cocok. Berdoalah. Minta dikuatkan dan disabarkan.
Untuk kamu yang masih berusaha. Berdoalah. Minta dikabulkan.

Yang pasti:

Nggak ada yang sia-sia.

Dan,

Tidak akan indah, bila tidak disyukuri.

Arissa Purilawanti
23/10/19


Komentar