Langsung ke konten utama

My Closest Experience To Death

Literally 10 minutes ago, gue menyaksikan kepulangan seseorang ke rahmatullah di depan mata gue.
.
.
.
Atau mungkin lebih tepatnya... seekor kucing.

A little background story biar ceritanya nyambung.

Flashback ketika gue masih TK-SD.

Jadi keluarga gue ini emang sudah sering disebut sebagai "Keluarga Kucing." Dimulai ketika dari kecil gue dan kakak-kakak gue sudah diperkenalkan kepada seekor hewan berbulu itu oleh orang tua gue. Jadi memang sudah ada beberapa generasi kucing yang pernah bersama kita seiring kita beranjak dewasa.

Awalnya hanya satu-dua ekor kucing saja yang kami pelihara. Namun waktu kami hijrah dari Jakarta ke Cibubur, nyokap gue langsung bercita-cita mempunyai satu kamar khusus untuk kucing di rumah baru kita. Kamar kucing. Tentunya cita-cita itu tidak langsung terwujud seketika, kami memulai dari kandang-kandang di halaman belakang dulu sebelumnya. Kamipun tidak membeli banyak kucing, hanya jantan dan betina saja sudah cukup untuk membuat sebuah clan kucing sendiri.

Setiap teman-teman gue dan kakak gue yang berkunjung, pasti langsung kagum dengan ke-fanatikan keluarga gue akan kucing. Sehingga sampai sekarang bila ketemu dengan mereka lagi, pertanyaan yang selalu menjadi kewajiban untuk ditanya adalah: "Rumah lo masih banyak kucingnya?"

Baru ketika gue SMP-SMA cita-cita nyokap akan kamar kucing tersebut terwujud. Ada beberapa kucing favorit gue yang sangat gue sayang. Pada saat itu juga menjadi puncaknya kegemaran gue dengan kucing. Bahkan gue sempat berfikir: "Duh kalo anak gue alergi kucing, gue harus relain yang mana ya..." 

Namun... dibalik dengan kebahagiaan kami dengan kucing, ada pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh keluarga gue setiap kalinya. Khususnya ketika keluarga kami dilanda krismon, kami harus merelakan pengurus kucing kami pergi. Alhasil, nyokap yang harus kasih makan sendiri satu kamar kucing itu, setiap hari (Kalau kotoran masih bisa nitip mbak yang bersih-bersih rumah)

Dan sayangnya, para anak-anak... Sedang sibuk dengan masa pubertasnya masing-masing.

Tapi apa daya... Pada saat gue sudah mulai masuk kuliah, krismon makin melanda keluarga kami. Nyokap guepun, yang hanya manusia pada umumnya yang sangat gampang dibolak-balikan hatinya oleh Tuhan, lambat laun beliau jadi capek sendiri. Perhatian dan cinta yang kurang dari nyokap gue, ternyata dirasakan oleh kucing-kucing itu. Mereka sadar kalau majikannya sudah tidak menyayanginya seperti dulu. Sama dengan manusia, hewan juga butuh kasih sayang untuk hidup. Ya betul, satu persatu kucing kami mati. Bahkan ada satu yang sengaja kabur dari rumah untuk mencari majikan lain. Nyokap gue hanya pasrah dan mengikhlasi. Akhirnya era "Keluarga Kucing" kami berhenti sampai disitu.

Fast forward, sampai ke hari ini, ketika gue sudah kuliah tingkat ke-3.

Sebenarnya, masih ada 2-3 ekor kucing yang tersisa, walaupun kami sudah tidak begitu memperhatikannya, tapi masih kami beri makan setiap hari. Namun yang tersisa tinggal betina semua. Dan lo tau, nggak enaknya punya kucing betina apa? Sayangnya, lagi-lagi sama dengan halnya manusia, kucing juga mempunyai kebutuhan biologis. Tapi kalau kita masih mempunyai beberapa trik untuk menangkis ke-"mblendung"-an itu, si kucing tidak. (Ya steril sebenernya salah satu pilihan, tapi lo tega emang?! Mana mahal pula.) Alhasil, ketika kucing lo berkeliaran di luar rumah tanpa diawasi (iya sekarang udah nggak kita kandangin lagi) si kucing bisa dengan gampang pulang-pulang dengan perut bulat. Dan kita selalu pasrah tak berdaya.

Si terdakwa, yang kita namakan Smoky. Tiba-tiba membawa oleh-oleh itu ketika pulang ke rumah. Kita semua kaget dan kesal, karena memang kita sudah tidak ingin ada banyak kucing lagi di rumah ini. Terlebih lagi, Si Smoky ini sudah sepuh. Tapi apa daya, masa kita aborsi?! Akhirnya ya sudah, kita bantu bidanin saja kalau dia melahirkan, dan kita bantu merawat anak-anaknya juga. Mungkin kalau sudah besar, kita kasih orang.

Namun, betul dengan asumsi kita kalau Smoky sudah sepuh. Anak-anaknya tidak berhasil survive lama... kecuali satu. Orang serumah sebenernya senang, melihat satu anak kucing yang menggemaskan lagi di rumah kita. Tapi nyokap, masih dengan ketrauma-annya, tidak berharap banyak. Kemudian kita menamakan si anak kucing itu Swallow, karena sering kali ia duduk di atas sendal jepit.

Tapi ada yang aneh dengan si Swallow ini, suatu ketika waktu kita lagi nge-hairdryer-in dia karena keujanan, kita melihat ada sesuatu di perutnya. Seperti daging tumbuh. Mungkin tumor? Tidak tahu, kami tidak sempat memeriksanya. Kakak gue panik dan sedih sendiri untuk sesaat. Namun besokannya ia sudah lupa lagi.

Dan baru inget lagi ketika... Swallow jatuh sakit.

Swallow yang sebelumnya terlihat sehat-sehat saja, ketika kita tidak perhatikan selama satu-dua minggu. Menjadi sangaaaaat kurus. Dan si "tumor" nya juga makin memparah. (Ada beberapa yang nggak gue ceritakan, demi kenyamanan pembaca.)

Lalu terjadilah dialog ini:


instagram @arissapurilawanti


Dialog itu terjadi pada suatu malam ketika kakak gue sedang panik-paniknya dengan nasib si anak kucing itu, nyokap gue hanya bisa ikutan sedih. Sedangkan gue, memang betul seperti yang terjadi di dialog itu. Karena waktu itu gue lagi sibuk sama kerjaan, gue jadi nggak ada waktu buat mikirin si anak kucing yang sekarat itu. "Yaudah kalo mati mau gimana lagi??" batin gue. Membiarkan mereka panik sendiri.

Besok paginya jam 6-an, ketika matahari baru terbit. Gue sebagai seorang morning person, memutuskan untuk lanjut mengerjakan kerjaan gue yang belum selesai pada saat itu. Baru setengah jam gue kerja... Tiba-tiba ada suara teriakan Swallow. Gue sontak kaget, "Lah, belum mati?!" Akhirnya gue tinggalin kerjaan gue, bokap gue yang lagi beres-beres rumah juga langsung berusaha memberikan Swallow pertolongan pertama.

Dan ternyata, ke tidak sensitif-annya gue menjadi sebuah keuntungan. Ketika nyokap dan kakak gue cuma bisa sedih-sedihan dan nggak berani liat Swallow sekarat. Gue dengan mengabaikan ke-naas-an nasib kucing kecil itu. Menggendongnya dan langsung menyuapinya sedikit-sedikit agar ia masih bisa bertahan hidup sampai kita membawanya ke dokter yang baru buka jam 9. Setelah Swallow udah memberontak gamau makan, gue taro di sebuah kardus. Dan pada saat ini lah...

Yang ada dipikiran gue pada saat itu, Swallow butuh kehangatan. Akhirnya gue langsung cari lampu dan hair dryer. Awalnya dia masih risih, tapi gue coba angin-angin-in dengan lembut. Membuatnya senyaman mungkin. Lalu ia terbaring, perutnya masih naik turun dengan dinamis, tapi lambat laun jadi pelan. "Oh berarti udah tenangan." batin gue. Harapan gue, dengan begitu setidaknya gue bisa mengulur waktu hidupnya sampai kita bisa bawa dia ke dokter hewan. Jadi ya sudah, gue hanya terus meng-hairdryer-kan dia sampai dia benar-benar bisa tidur dengan tenang.

Tapi... ternyata dia terlalu ketenangan.

Gue yang kebawa hawa-hawa ngantuk dari si angin hairdryer. Sayup-sayup memejamkan mata sejenak. Namun, ketika gue buka mata lagi... Perutnya sudah tidak naik lagi.

"Pa... udah mati nih." ucap gue.

Perasaan gue pada saat itu, masih sama seperti semalam "Yasudah, mati, mau gimana lagi?" Sebenarnya, gue lebih banyak perasaan lega. Dibanding dia kesakitan, lebih baik begini bukan? Lagi pula, sepertinya dia mati dengan tenang... Semoga khusnul khotimah. Amiiiin.

Tidak lupa dengan mengucapkan istirja, gue memasukinya ke dalam plastik. Dan mengikatnya dengan pita kuning.

Dan itulah pengalaman terdekat gue dengan kematian.

Rest in Peace, Swallow bin Smoky. 
ARSP
24/8/18





Komentar