Langsung ke konten utama

Awan & Matahari

Waktu itu kita lagi di pasar, mama belanja sayur-mayur dan bumbu dapur untuk persiapan dagang besok. Seperti biasa, kita selalu mampir di suatu toko, mencoba kudapan atau pelepas dahaga, mau yang sudah langganan ataupun baru mencoba. Itu lah mengapa aku suka sekali ikut mama ke pasar, entah kenapa kalau di luar rumah, kualitas waktu kita jadi lebih cair. Aku lebih gampang bercerita ketika kita dalam perjalanan atau ya seperti sekarang ini.

Aku bercerita tentang bagaimana akhirnya aku berhasil melepas awan-awan kelabu yang sudah lama sekali aku tenggelam di bawahnya. Awan-awan yang selama ini aku selalu percayai menjadi persinggahan terakhirku. Bagaimana bisa, aku pun tidak tahu. Tapi dulu aku merasa, kalau mereka, juga merasa yang sama sepertiku.

Namun, berkat sepenggal kalimat yang mama keluarkan setelahnya, seketika... menyadarkanku. Semacam mengeluarkan kartu AS, ketukan palu yang ketiga, dan tanda tangan di atas materai enam ribu. Untaian kata-kata itu, menjadi penentu pada nasib awan-awan itu.

Pada saat itu lah, matahari yang selama ini aku rindukan, dipersilahkan masuk oleh awan-awan kelabu. Selama ini yang aku lihat hanya kabut-kabut abu-abu, yang menghalangi pandanganku untuk melihat apa yang ada di ujung sana, akhirnya bisa dengan sukarela pamit padaku. "Itu lah aba-aba aku harus pergi." Dan aku hanya bisa melambaikan tangan, dan berbisik: "Terimakasih."

Aku sampai lupa kalau matahari secerah dan sekuning itu. Terakhir aku bertemu dengannya... Tidak, aku belum pernah bertemu dengannya, ini perjumpaan pertama kami. Yang aku lihat dulu hanyalah matahari pura-pura. Maka kali ini aku berdoa, kali ini adalah matahari yang benar.

Kalaupun bukan, aku meminta, untuk diberi kekuatan menerima kenyataan itu.

Tidak seperti dulu, ketika aku ingin sekali ditipu oleh matahari pura-pura. Karena terlalu takut, kalau matahari benar tidak akan seindah matahari pura-pura.

Tapi ya, itu semua hanyalah ketakutan bodoh. Yang aku harap aku tidak akan merasakannya lagi.

Kali ini aku ingin mencari terus matahari yang benar itu, supaya dia bisa bersamaku selalu. Di pasar, di jalan, di rumah, dimana saja. Aku ingin selalu bersamanya, agar aku bisa melihat lebih jelas apa yang ada di ujung sana.

"Matahari itu berpotensi, tapi bukan kita yang berhak menilai benar atau pura-puranya." ujar Mama sambil memakan lemper ayam kesukaannya.

"Iya, setidaknya awan-awan itu sudah pergi sekarang." batinku.

Selamat tinggal, Awan.
Aku menunggumu, Matahari.

ARSP
12/12/18




Komentar